Selasa, 05 April 2011

Pelabuhan Samarinda

Pelabuhan Samarinda yang berada di kota Samarinda, tepatnya terletak di tepian sungai Mahakam.
Pada tahun 1668 awalnya Samarinda di tempati oleh orang-orang Bugis Wajo, karena saat itu kerajaan Gowa telah dikuasai oleh Belanda dan tidak menyetujui perjanjian Bongaya antara Sultan Hasanuddin dan VOC Belanda. Pada tahun 1844 di tandainya Kalimantan Timur di bawah Pemerintahan Belanda, Samarinda terus berkembang dan telah dikenal serta menarik para pedagang maupun pelaut dari Cina, India, karena sekitar sungai Mahakam kaya akan hasil-hasil emas, sarang burung. Madu, lilin lebah, gaharu, bulu burung yang indah, hasil hutan lainnya, dan juga terdapat minyak kental (Napta) yang dijual belikan secara barter dengan mata uang koin.

Pada masa penjajahan Belanda sudah dibangun dermaga dari kayu selain menghubungkan antara Samarinda Ilir dan Samarinda Seberang juga dipakai kegiatan bongkar muat barang. Pada tahun 1978 setelah melihat arus bongkar muat barang dan kunjungan kapal meningkat dari waktu ke waktu, Pemerintah Republik Indonesia memperluas Pelabuhan Samarinda dengan beton bertulang, dan pondasi tiang pancang. Dermaga tersebut diberi nama dermaga III dengan panjang 50 x 12 m.

Pampang, Desa Budaya Kalimantan Timur

Desa Pampang adalah sebuah desa budaya yang berlokasi di Sungai Siring, Kota Samarinda, Kalimantan Timur dan merupakan objek wisata andalan kota Samarinda.
Sejarah
Sekitar tahun 1960-an, Suku Dayak Apokayan dan Kenyah yang saat itu berdomisili di wilayah Kutai Barat dan Malinau, hijrah lantaran tak mau bergabung atau tak ingin ikut ke wilayah Malaysia dengan motif dan harapan taraf pendapatan atau ekonomi yang menjanjikan. Rasa nasionalisme mereka inilah yang membuat mereka memilih tetap bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mereka menempuh perjalanan dan berpindah-pindah selama bertahun-tahun, hanya dengan berjalan kaki. Untuk menyambung hidup hidup mereka singga di tempat-tempat yang dilaluinya dan berladang. Kehidupan mereka terus berpindah-pindah untuk berladang. Sehingga akhirnya mereka sampai di kawasan Pampanh. Akhirnya mereka hidup di Desa Pampang dan melakukan berbagai kegiatan masyarakat, seperti bergotong-royong, merayakan natal, dan panen raya.
Lalu, di bulan Juni 1991, Gubernur Kaltim HM Ardans mencanangkan dan meresmikan Desa Pampang sebagai Desa Budaya. Pemerintah merasa antusias bahwa desa budaya ini memiliki kegiatan positif yang bisa menjadi aset wisata unggulan baik di tingkat lokal bahkan hingga mancanegara.
Setiap tahunnya, digelar acara memperingati ulang tahun Desa Pampang, yang disebut dengan nama Pelas Tahun.
Melalui desa ini, pemerintah berharap desa ini bisa terus memelihara dan melestarikan adat istiadat dan budaya masyarakat Dayak. Desa Budaya Pampang, kini kerapkali dikunjungi oleh tamu-tamu VIP yang datang di Kaltim dan para turis lokal dan mancanegara.
Turis dan para pengunjung merasa penasaran ingin melihat langsung eksotisme budaya, adat istiadat dan sosok masyarakat Dayak, yang memang sudah dikenal dunia.
Selain itu, pemerintah mendukung agar warga Dayak yang menghuni Desa Pampang untuk bisa mengembangkan potensi lain, misalnya saja membuat cindera mata seperti manik-manik dan sejenisnya.
Berikut Foto-foto Warga Dayak saat pesta Budaya yang saya ambil ketika saya berkunjung kesana
dayak
dayak

Sungai Karang Mumus Samarinda

Sore hari, bersama rekan Samarinda Photographer (SPOT) Cummunity melintasi Sungai Karang Mumus (SKM). Perahu bermotor kapasitas 20 orang ini dirasa lumayan besar, untuk sungai sekecil ini. Maklum, buritan rumah plus jamban membuat luasan SKM berkurang.
Ada 7 jembatan yang melintang di SKM, mulai jembatan Pasar Sungai Dama hingga di jembatan Ruhui Rahayu. Sebenarnya masih bisa ditelusuri hingga ke kawasan Gunung Lingai dan tembus hingga Waduk Benanga yang memang asal aliran air SKM. Namun semakin ujung sungai semakin menyempit. Belum lagi saat air dangkal. Siapkan saja bekal makanan untuk menemani anda menunggu air pasang selama kapal kandas.
Anehnya di setiap bawah jembatan ada kehudipan. Entah itu dijadikan sebagai tempat mabuk-mabukan atau memang dijadikan tempat tidur oleh anak jalanan. Atau malah dijadikan tempat mesum, banyak botol miras dan coretan tidak senonoh di bawah jembatan.
sungai karang mumus
Lima belas tahun lalu, SKM masih dipenuhi ketinting (perahu kecil bermotor, Red.) bersandar di batang (rakit gelondongan Red.) karena sebagian besar masyarakat bekerja sebagai nelayan. Bahkan nelayan sebisa mungkin menjaga kebersihan sungai dari sampah pelastik, dan itu timbul dari kesadaran masing-masing.
Daripada nelayanan harus menyelami sungai untuk membersihkan kipas yang tersangkut karung, atau mencari kipas di dasar sungai yang terlepas karena terhantup batang larut.
Saat itu anak-anak masih ramai berenang, melepaskan emosi dengan berlompatan dari atas jembatan, atau bermain perahu dan membawa tudung saji di meja makan untuk menangkap ikan kecil dan udang sungai. kerena dulu memang masih bersih dan banyak enceng gondok, tempat yang disukai ikan.
Ketika melintasi sekitar Jl Kehewanan, terlihat kapal penambang pasir mewarnai SKM. Selama perjalanan rombongan jarang melihat ketinting bersandar di dekat batang. Hanya 1-2 orang menggunakan perahu dari plywood asik memancing di bawah kolong rumah. Ada juga yang menggunakan perahu sebagai alat penyeberangan dari Pasar Segiri. Padahal lebarnya hanya 6 meter saja. Ibu-ibu yang rata-rata penjual sayur tengah asik berkumpul mensortir sayuran layak jual. Sayuran tak layak, selamat berenang-renang di SKM.
Begitu hebatnya jika dibayangkan, bantaran SKM yang cantik menjadi taman kota. Bersih tanpa sampah, banyak kursi seperti halte tempat bersantai di pinggirannya, dan ada juga air siap minum PDAM. Rusunawa menjulang tinggi dengan desain minimalis. Walau masyarakat hidup menengah, kebanggaan tinggal di Samarinda yang maju.
Di Sungai ini segala macam aktifitas di lakukan, mulai dari Mandi, Mencuci, Buang Air Besar/kecil, Ternak Ayam sampai Membuang Sampah pun dilakukan di Sungai ini.
Inilah Potret Sungai Karang Mumus Samarinda.
anak karang mumus
rumah di skm

Kebun Raya Unmul Samarinda

Kebun Raya UnmulSamarinda atau yang lebih lazim disebut KRUS ini merupakan salah satu diantara beberapa tempat wisata yang ada di kota Samarinda, ibukota Kalimantan Timur. Letaknya di sebelah utara kota Samarinda, sekitar 10 kilometer atau 15 menit perjalanan dengan kendaraan dari pusat kota.
Untuk diketahui areal KRUS ini dulunya adalah areal HPH milik sebuah perusahaan, namun pada tahun 1974 perusahaan tersebut menyerahkan kawasan seluas 300 Ha kepada Rektor Universitas Mulawarman untuk dikelola menjadi hutan konservasi atau kebun raya yang kemudian juga diperkuat oleh Gubernur dan Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Timur. Pada tahun 1997 Walikota Samarinda juga kembali memperkuat agar kawasan ini dijadikan hutan pendidikan Universitas Mulawarman.
Sejak dikelola oleh Unmul maka kawasan KRUS ini menjadi kawasan riset dan tempat berkumpul civitas akademika Fakultas Kehutanan Unmul, tak sedikit pula masyarakat luas baik dalam maupun luar negeri melakukan aktifitas riset di wilayah ini.
Pada tahun 2001 pihak Pemerintah kota Samarinda dan pihak Universitas Mulawarman kembali mengadakan penandatanganan MoU, kedua belah pihak sepakat untuk menjadikan sebagian wilayah KRUS sekitar 62 Ha untuk dikelola sebagai kawasan wisata.
Saat ini pengelola terus berusaha membenahi KRUS agar semakin menarik bagi pengunjung.
Di KRUS untuk saat ini terdapat kebun binatang mini, disebut mini karena memang binatangnya masih dalam jumlah terbatas dan dipelihara di dalam kurungan yang berukuran tidak terlalu besar, ada orang utan dan beruang madu yang merupakan binatang khas pulau Kalimantan, kemudian ada rusa sambar, buaya muara, monyet dan lain-lain.
Selain itu di sini juga terdapat danau yang cukup luas, bagi yang ingin berkeliling-keliling danau bisa menyewa sepeda air untuk digunakan bersama keluarga atau teman.
Kalau masih belum puas berkeliling-keliling danau, menyewa andong dan mengitari tempat wisata ini bisa menjadi salah satu pilihan. Setelah lelah berkeliling-keliling kita bisa beristirahat di warung-warung yang tersebar di area ini atau bisa duduk-duduk santai di gazebo yang ada di berbagai sudut sambil menikmati suasana.
Masih belum puas…?
Coba lagi yang satu ini nih… All Terrain Vehicle (ATV), tersedia beberapa unit “kendaraan segala medan” di tempat ini, silahkan mencoba untuk beberapa putaran.
Di sini juga terdapat Museum Kayu, kita bisa menambah wawasan tentang jenis-jenis kayu yang terdapat di Kalimantan Timur mulai dari kayu yang komersil sampai kayu yang kurang komersil.
Tidak jauh dari Museum kayu terdapat gerbang “Praja Muda Karana”, ini merupakan gerbang menuju area camping ground, bagi yang hobi kemping sekali-kali bisa mencoba di sini.
O’ouw… ga terasa udah waktunya sholat Zhuhur nih… sampai di sini dulu ya jalan-jalannya mau sholat dulu nih di Musholla KRUS…
Semoga saja Pemerintah Kota Samarinda akan terus membenahi tempat wisata yang satu ini, bisa juga bekerjasama dengan pihak swasta yang berkompeten dalam mengembangkannya, sehingga akan semakin banyak lagi wisatawan yang tertarik untuk mengunjungi Kebun Raya Unmul – Samarinda.

Islamic Center Samarinda

Masjid Islamic Center Samarinda adalah masjid yang terletak di kelurahan Teluk Lerong Ulu, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia, yang merupakan masjid termegah dan terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Masjid Istiqlal. Dengan latar depan berupa tepian sungai Mahakam, masjid ini memiliki menara dan kubah besar yang berdiri tegak.
Masjid ini memiliki luas bangunan utama 43.500 meter persegi. Untuk luas bangunan penunjang adalah 7.115 meter persegi dan luas lantai basement 10.235 meter persegi. Sementara lantai dasar masjid seluas 10.270 meter persegi dan lantai utama seluas 8.185 meter persegi. Sedangkan luas lantai mezanin (balkon) adalah 5.290 meter persegi. Lokasi ini sebelumnya merupakan lahan bekas areal penggergajian kayu milik PT Inhutani I yang kemudian dihibahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
Bangunan masjid ini memiliki sebanyak 7 menara dimana menara utama setinggi 99 meter yang bermakna asmaul husna atau nama-nama Allah yang jumlahnya 99. Menara utama itu terdiri atas bangunan 15 lantai masing-masing lantai setinggi rata-rata 6 meter. Sementara itu, anak tangga dari lantai dasar menuju lantai utama masjid jumlahnya sebanyak 33 anak tangga. Jumlah ini sengaja disamakan dengan sepertiga jumlah biji tasbih.
Selain menara utama, bangunan ini juga memiliki 6 menara di bagian sisi masjid. Masing-masing 4 di setiap sudut masjid setinggi 70 meter dan 2 menara di bagian pintu gerbang setinggi 57 meter. Enam menara ini juga bermakna sebagai 6 rukun iman.
Pembangunan Islamic Center diharapkan dapat pula membangkitkan semangat kebersamaan dalam upaya menghadapi era global, selain merupakan tuntutan masyarakat untuk Samarinda memiliki sebuah sarana tempat ibadah yang memadai.

Sejarah Kota Samarinda

Pada saat pecah perang Gowa, pasukan Belanda di bawah Laksamana Speelman memimpin angkatan laut menyerang Makasar dari laut, sedangkan Arupalaka yang membantu Belanda menyerang dari daratan. Akhirnya Kerajaan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanudin terpaksa menandatangani perjanjian yang dikenal dengan ” PERJANJIAN BONGAJA” pada tanggal 18 Nopember 1667.
samarinda
Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja tersebut, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke daerah kerajaan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama didalam menghadapi musuh.
Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan didalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).
Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua “sama” derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau “rendah”. Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan SAMARENDA atau lama-kelamaan ejaan “SAMARINDA“.
Orang-orang Bugis Wajo ini bermukim di Samarinda pada permulaan tahun 1668 atau tepatnya pada bulan Januari 1668 yang dijadikan patokan untuk menetapkan hari jadi kota Samarinda. Telah ditetapkan pada peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Nomor: 1 tahun 1988 tanggal 21 Januari 1988, pasal 1 berbunyi “Hari Jadi Kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya’ban 1078 H” penetapan ini dilaksanakan bertepatan dengan peringatan hari jadi kota Samarinda ke 320 pada tanggal 21 Januari 1980.
Maskot Kota Samarinda
pesut mahakam
Pesut Mahakam adalah maskot kota Samarinda. Namun saat ini Pesut Mahakam tidak terlihat lagi di sepanjang sungai Mahakam kota Samarinda. Pesut Mahakam terdesak oleh kemajuan kota dan pindah ke hulu sungai. Populasi Pesut Mahakam semakin menurun dari tahun ke tahun. Bahkan menurut sebuah penelitian, Pesut Mahakam sekarang tinggal 50 ekor. Jika tidak dilakukan antisipasi dan pelestarian, maka dalam waktu beberapa tahun saja Pesut Mahakam akan punah, menyusul pesut dari Sungai Irrawaddy dan Sungai Mekong yang sudah terlebih dahulu punah dan Pesut Mahakam adalah pesut air tawar terakhir yang hidup di planet bumi.
Pemerintahan Kota Samarinda
Dibentuk dan didirikan pada tanggal 21 Januari 1960, berdasarkan UU Darurat No. 3 Tahun 1953, Lembaran Negara No. 97 Tahun 1953 tentang Pembentukan daerah-daerah Tingkat II Kabupaten/kotamadya di Kalimantan Timur.
Semula Kodya Dati II Samarinda terbagi dalam 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda Ilir, dan Samarinda Seberang. Kemudian dengan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Kalimantan Timur No. 18/SK/TH-Pem/1969 dan SK No. 55/TH-Pem/SK/1969, terhitung sejak tanggal 1 Maret 1969, wilayah administratif Kodya Dati II Samarinda ditambah dengan 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Palaran, Sanga-Sanga, Muara Jawa dan Samboja. Saat ini Samarinda terdiri dari 6 kecamatan, tidak termasuk Sanga-Sanga, Muara Jawa dan Samboja, ketiganya masuk dalam Kabupaten Kutai Kartanegara.
Setelah PP No. 38 Tahun 1996 terbit, wilayah administrasi Kodya Dati II Samarinda mengalami pemekaran, semula terdiri dari 4 kecamatan menjadi 6 kecamatan, yaitu:
* Kecamatan Samarinda Ilir dengan 13 kelurahan,
* Kecamatan Samarinda Utara dengan 6 kelurahan,

* Kecamatan Samarinda Ulu dengan 8 kelurahan,

* Kecamatan Samarinda Seberang dengan 8 kelurahan

* Kecamatan Sungai Kunjang dengan 7 kelurahan, dan

* Kecamatan Palaran dengan 5 kelurahan.
Rencananya kecamatan dan kelurahan tersebut akan dimekarkan kembali.
Berdasarkan Perda Kota Samarinda No. 1 Tahun 1988, tanggal 21 Januari 1988, ditetapkan Hari Jadi Kota Samarinda adalah tanggal 21 Januari 1668. Penetapan ini bertepatan dengan Peringatan Hari Jadi Kota Samarinda ke-320.